THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Jumat, 25 Februari 2011

Paham Eudaemonisme

source :sapereaudenias.blogspot.com/2008/08/kenaifan-etika-eudaemonisme-aristoteles.html

Aristoteles (384-322), dalam bukunya yang berjudul “Nicomachean Ethics,” mencetuskan apa yang disebut sebagai etika “eudaemonisme” rasional (dari Yunani “eudaemon” yang berarti bahagia).

Cetusan etika “eudaemonisme” Aristotelian tampak dalam pembukaan buku “Nicomachean ethics.” Dalam pembukaan buku tersebut, Aristoteles mengatakan bahwa segala aktivitas hidup manusia terarah kepada kebaikan. Kebaikan yang dikejar itulah yang disebut kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan cetusan yang paling sempurna, ideal dan rasional dari aktivitas tindakan manusia. Namun, apa yang disebut sebagai kebahagiaan menurut Aristoteles, bukanlah sesuatu yang sudah selesai, rampung dan tuntas. Kebahagiaan harus disamakan dengan aktivitas, yaitu aktivitas mencari kebahagiaan. Dengan demikian, etika “eudaemonisme” Aristotelian adalah etika yang berhubungan dengan rasionalitas manusia.

Etika “eudaimonia” tidak hanya dipahami oleh Aristoteles. Etika ini juga telah dipahami oleh beberapa filsuf lain. Misalnya, Epicuros, kaum Epicurian dan Jeremy Bentham yang kemudian melanjutkan gagasan kaum Epicurian. Tetapi, kebahagiaan dalam cetusan Aristoteles, berbeda dengan paham Epicuros, kaum Epicurian dan Jeremy Bentham.

Gagasan “eudaimonia” dalam pemahaman Epicuros, terwujud dalam “kenikmatan” (pleasure), yaitu kenikmatan yang mengalir dari aktivitas makan dan minum (the roots of all good is the pleasure that comes from the eating and drinking). Sedangkan menurut kaum Epicurian, kebahagiaan terletak pada aktivitas dan kepuasan diri yang rendah. Tesis kaum Epicurian, kemudian dilanjutkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Bentham mengatakan, bahwa kehidupan manusia ditentukan oleh dua unsur, yaitu perasaan sakit dan kenikmatan (pain and pleasure). Pengertian ini mengandaikan sebuah karakter untuk menghindari penderitaan dan mengejar kenikmatan, yaitu kenikmatan yang terbatas pada aktivitas makan dan minum.

Berbeda dengan Epicuros, Jeremy Bentham dan kaum Epicurian, Aristoteles tidak meletakkan “eudaimonia” pada “rasa, cita rasa dan kenikmatan.” Etika “eudaimonia” Aristoteles lebih mengarah kepada karakter rasional. Bagi Aristoteles, manusia dengan rasionya (akal budinya), dapat meraih kebahagiaan bagi hidupnya. Namun, menurut Aristoteles, manusia harus menjalankan aktivitasnya (akal budinya) menurut keutamaan (virtue) untuk mencapai kebahagiaan, karena aktivitas yang disertai keutamaan (virtue) dapat membuat manusia bahagia. Kebahagiaan menurut Aristoteles tidak terletak pada pengertian menikmati hasil atau prestasi, tetapi pada karakter kontemplasi rasional sebagai suatu aktivitas manusia untuk mengalami pencerahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar